Senin, 25 Mei 2015

Cuman bondo nyontek


Cuman bondo nyontek

Fakta manusia-manusia mungil di Indonesia. Paling suka hidup mudah, asal bisa mendapatkan apa saja. Nggak hanya dari kalangan para pemerintah, penghuni kantor-kantor Negara, atau petinggi-petinggi bangsa kita. Dari makhluk strata rendah seperti siswa saja sudah pandai menjalankan misi non-sportif dalam setiap tindakannya. Yang kurang menjaga etika, harga diri, ataupun martabatnya. Mengerjakan hal dengan menghalakan semua cara untuk meraih tujuan mereka. Hanya karena korupsi yang tidak hanya terjadi di gedung-gedung negara yang tinggi, namun mewabah di penjuru lembaga, akhirnya memunculkan sumber daya manusia yang tak berkualitas jebolan Indonesia.
Tahu tidak dengan warga negara Indonesia yang pekerjaannya punya misi dan visi jelas, namun ternyata kelakuan mereka dalam pekerjaan tidak pernah jelas ? banyak ‘kan ?. Ironisnya, tanah air kita ini memiliki ribuan maling yang lebih pandai dan disiplin dari pada jutaan polisi. Misalnya, yang kerap terjadi di kawasan jalan raya. Polisi di Indonesia saja bisa melakukan hal yang tidak sportif, apa lagi malingnya yang dari awal sudah berniat menjadi ‘maling’. Tidak jarang, bahkan sangat mudah kita temukan, orang yang tidak memakai helm, tidak membawa SIM, justru selamat setelah dicegat oleh petugas kepolisian lalu lintas. Lho, kok bisa ? ya bisa saja, bagi orang-orang yang sudah mengalaminya dan melakukannya.
Kali ini, dalam pendidikan. Coba tengok lebih dalam, betapa seriusnya para pelajar atau peserta ujian ketika mengerjakan soal-soal mereka. Namun, di kolong meja, di bawah alas lembaran kerja, terdapat banyak pedoman rahasia yang mereka buat sendiri. Belum lagi di sepatu mereka, di dalam saku mereka, seragam, bahkan di paha bagi siswi yang memakai rok. Mestinya hal seperti ini di anggap sebagai pelanggaran, bahkan kejahatan. Sadar nggak kalau korupsi dan tindakan non-sportif juga terjadi di sekolah-sekolah ?.
Seperti yang kerap terjadi di kalangan para pelajar atau mahasiswa bahkan para pekerja pun, menganggap menyontek adalah hal-hal yang sudah lazim dan tidak tabu. Di setiap kesempatan, seperti ulangan, ujian tulis, ujian akhir, selalu saja ada anak yang bermain curang. Mungkin, karena di lembaran soal ujian jarang sekali ada peraturan yang tidak memperbolehkan siswa menyontek dan bertanya kepada teman mereka. Kebanyakan, dalam lembaran soal ujian, hanya terdapat peraturan untuk tidak merusak lembar jawaban kerja, tata cara mengisi lembar jawaban kerja, dan tidak diizinkannya peserta ujian untuk membawa kalkulator, Hp, dan lain-lain.
Banyak sekali ditemukan anak yang nilainya baik dalam ujian, walaupun tidak terlihat rajin dengan belajarnya, namun nilai ulangan dan ujiannya bisa di bilang tinggi, itu karena mereka cuman bondo nyontek. Kejadian contek-menyontek tidak hanya akan merugikan pihak yang melakukannya, Namun juga semua orang yang terlibat. Orang tua, guru, bahkan negara dan masyarakat. Mereka tidak hanya tertipu dengan nilai baik atau prestasi palsu dari pelajar itu sendiri. Disebabkan semua itu pula kemungkinan banyak pendidikan di bangsa kita ini akan mengeluarkan dokter-dokter yang sering mengalami mal praktek, petugas polisi yang mata duitan, petinggi-petinggi negara yang terlibat korup, suap, dan semacamnya. Bahkan tak jauh-jauh, berapa banyak sarjana yang menjadi pengangguran yang di anggap kurang mumpuni di bidangnya, dan masih banyak lagi pastinya.
Semua itu karena para manusia penimba ilmu tidak sungguh-sungguh untuk mencari ilmu. Akhirnya, seluk beluk dunia pendidikan penuh dengan ketidak professionalan. Beberapa kali terjadi dan muncul di berbagai media dan pemberitaan adanya kecurangan dalam ujian nasional yang diselenggarakan negara. Acara contek bareng, bocoran soal, bahkan tak jarang terdapat wali kelas atau guru yang membantu muridnya melakukan tindakan curang dan membiarkan murid-muridnya menyontek dalam kelas.
Pernah terjadi kejadian suatu waktu sebelum ujian berlangsung, guru dan wali kelas mengumpulkan anak didiknya yang di anggap lebih aktif dan mampu atau siswa terbaik di sekolah, kemudian mereka di beri pengarahan untuk membantu kawan-kawannya dalam menjawab soal selama ujian berlangsung, terutama kepada teman-teman mereka yang kesulitan menjawab soal. Tak heran jika dalam ujian guru, seperti ujian sertifikasi, ujian guru teladan, bahkan tes kepala sekolah, contek-menyontek juga dilakukan oleh beberapa guru. Kegiatan ini tentu akan merugikan banyak pihak, tak hanya nama pendidikan dalam negara yang tercoreng, sering kali isu nasional menguak tentang penipuan yang terselip dalam setiap kelas sewaktu ujian, sehingga terlihat betapa negara ini sesak oleh-oleh manusia-manusia penipu. Betapa manusia di negeri ini jiwanya telah penuh dengan jiwa korupsi.
Sering kita dengar pula realita di sekitar kita. hampir tidak pernah kita temukan orang yang pandai dan jujur akan menjadi masyhur, dalam masyarakat sekitar kita justru akan tersungkur. Bayangkan, siswa yang rajin belajar sering kali terisolasi di sekolah lantaran ia enggan memberi contekan kepada teman-teman yang kurang pandai atau yang tidak tekun belajar. Ini menandakan betapa runtuhnya jati diri pendidikan di negara kita. bahkan kita tidak sadar bahwa ternyata sampai saat ini semakin hilang kemuliaan diri kita sebagai pelajar dan pencari ilmu. Lewat itu semua, masyarakat Indonesia telah mengubur nilai-nilai moral bangsa.
“Nilai”. Silahkan bertanya kepada semua pelajar Indonesia, bukan anak Indonesia kalau dia tidak menjawab satu kata tersebut ketika ditanya, “untuk apa belajar saat ujian ?”. Bukan hal aneh, di negara kita saja telah di ajarkan bahwa ukuran kesuksesan adalah nilai dan kelulusan. Bayangkan, sekolah yang asalnya adalah tempat yang di cap sebagai surga para penimba ilmu, justru di huni oleh manusia-manusia yang menyalah gunakannya sebagai tempat untuk mencari nilai, dan kebanyakan dari mereka mengatakan, “yang penting lulus !!”.
Akibatnya, anak-anak yang awalnya semangat belajar, menjadi keranjingan menyontek karena beberapa faktor tersebut. Takut dihindari teman-teman, permintaan guru, takut nilai teman-temannya yang bekerja sama dalam contek-mencontek lebih tinggi dibanding dirinya yang mengandalkan otaknya, karena dari awal dia juga mencari nilai, takut tidak naik kelas, takut tidak lulus, bahkan ada yang karena sogokan dari teman-temannya untuk membantu mereka mengerjakan soal saat ujian. Sehingga kemungkinan 90 % dari 100 anak cuman bondo nyontek.
Sungguh tak terduga, pelajar di sekolah kita tengah terserang penyakit mental. Di negara adidaya Amerika, salah satu penyebab anak terusir dari sekolah adalah mencontek. Jujur dan bertanggung jawab adalah hal yang sangat dihargai di sana. Lantas bagaimana dengan negara kita ? padahal negara kita terkenal sebagai negara yang bermoral, namun rupanya cara-cara yang tidak etis mengendap-endap dalam dunia pendidikan kita.
 “ujian untuk belajar” adalah motto yang patut dijadikan pegangan. Sayang, di kalangan pelajar membalikkan teori bijak tersebut dalam prakteknya dengan “belajar untuk ujian”. Sehingga pelajar yang rajin belajar jumlahnya bisa di hitung ketimbang murid yang hanya belajar menjelang ujian. Peserta ujian yang jujur terlihat hanya segelintir orang di antara ribuan pelajar yang saling contek-menyontek. Karena dari awal mereka bertujuan untuk mencari kepentingan pribadi dan ambisi kepada tujuan mereka, yaitu nilai dan kelulusan.
Dan berbagai persoalan pun bermunculan, “mengapa di adakan ujian ?”. ujian adalah salah satu cara untuk mengukur sampai seberapa tinggi tingkat pemahaman kita dalam menyerap ilmu. Tujuan itupun sampai sekarang tetap tidak menjadi pijakan, namun menjadi ambisi yang menyengsarakan.
Berkenaan dengan sumber daya manusia di Indonesia yang tergolong di nilai kurang berkualitas di bandingkan sumber daya yang lain. Sebenarnya tidak juga tidak berkualitas, buktinya banyak ilmuwan cerdas keluaran Indonesia. Mungkin, karena ketidak performanya dan ketidak efektifnya makhluk-makhluk absolut republik kita ini. bayangkan, ribuan ilmuwan dari Indonesia terlahir sebagai manusia cerdas yang berkualitas kiprahnya. Lalu, kenapa pula masih tidak segera terlihat banyak pelajar yang menyontoh para ilmuwan tersebut ?. justru waktu ulangan berlangsung, mereka berdisiplin untuk menyontek atau mencari jawaban dari teman, dari kertas-kertas kecil, dan yang lain. Padahal, karakter yang di tanamkan saat pembelajaran dalam pendidikan adalah termasuk jujur dan bertanggung jawab. Bukan calon ilmuwan atau generasi cerdas namanya kalau kerjaannya hanya mengimitasi jawaban teman dan kertas contekan.
Perlu di camkan, hidup ini tidak hanya sekali kita menghadapi persoalan, tidak hanya sekali kita menghadapi tantangan, tapi semakin hari dan semakin bertambahnya umur akan semakin banyak dan semakin berat tantangan yang kita hadapi. Lalu, kalau dari awal sudah belajar untuk tidak professional dan sportif dalam menghadapi ujian. Bagaimana nantinya ketika orang-orang tersebut menghadapi persoalan atau ujian selanjutnya ?. apakah negara ini akan terus melahirkan para pengangguran, guru-guru yang jadwal kerap kosong, membantu muridnya untuk contek menyontek, dokter-dokter yang melakukan kejahatan, birokrat dengan mentalitas yang darurat, politisi-politisi yang tidak berkualitas dan bermental bejat memenuhi gedung-gedung parlemen di pusat, praktik korupsi-kolusi, sandiwara politik untuk kepentingan pribadi dan golongan, polisi yang masih menerima sogokan, dan lain sebagainya ?. kalau dari awal langkah hidup mereka terbiasa untuk berbuat curang seperti menyontek, sama seperti mereka itulah akhirnya, menjadi kebiasaan menghalalkan segala cara dalam ambisi tujuan mereka. Perlu di ingat lagi, karena dari awal mereka mencari nilai dan kelulusan, bukan lagi ilmu atau pendidikan,  jadi seumur hidup mereka hanya untuk mencari tujuan mereka sendiri lewat jalur apapun, tanpa adanya sikap yang professional dan sportif.
Kurang adanya motivasi, pengaruh luar, atau ketidak pedulinya pihak tekait, seperti guru dan orang tua juga menjadi penyebab semangat belajar para pelajar. Mungkin inilah saatnya kita sebagai manusia Indonesia harus bisa menjadi generasi yang dapat membangun bangsa. Seorang pelajar harus benar-benar berniat menimba ilmu untuk menjadi ilmuwan dan generasi cerdas selanjutnya. Siapa lagi yang akan membangkitkan bangsa dari keterpurukan mental bejat sekarang kalau bukan generasi muda yang sungguh-sungguh dapat dijadikan harapan ?.



Minggu, 17 Mei 2015

Menghilang di kota Malang



Menghilang di kota Malang

Terjebak di alam kelagu-laguan lincah
Meroda dengan kecepatan tanpa hitungan statis metematika
Berharap berhenti berharap

Dari kota pejuang Soekarno
Sampai kota batu yang romantis
Berangkat dari tekad
Berjalan lurus dengan nekat

Tak hanya berharap, telah berhenti
Berjalan, berlari, bersambung mati
Sanggupnya menyapa tujuan pasti
Menghilang di kota hati
Sendiri

Syahdan terus meroda
Di kota tanpa tahu arah

Apa itu Gadang, apa itu jalan
Kemana arah jalan Gajayana

Sebuah kubah tengah berdiri di sebuah senja
Memanggil-manggil di jantung kota
Adzan yang sumringah, membangunkan jiwa

Apa yang harus dilakukan seorang diri di kota tempat gunung Mahameru berdiri ini ?

Bukan mukjizat, bukan wahyu di saat tersesat
Sembahyang maghrib di masjid yang penuh kiblat
Dia memberiku satu hal penyelamat
Menuju hijrah dalam niat di tempat yang tepat