Rabu, 22 Juli 2015
Proyek Penerbitan Antologi Puisi Indonesia Merdeka Berhadiah Jutaan Rupiah
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka. Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/pedesaan, diikuti oleh warga setempat dan dikoordinir oleh pengurus kampung/pemuda desa. Hampir Seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dengan caranya masing-masing.
17 Agustus 2015 nanti Indonesia akan resmi ke – 70, namun setelah 70 tahun merdeka, sudahkah Indonesia dapat dikatakan merdeka sepenuhnya? Tidak bisa dipungkiri, Indonesia sudah menjauh dari cita-cita mulia Undang-Undang Dasar 1945. Negara ini semakin lemah dan mengkhawatirkan. Setiap hari kita disuguhkan berita menurunnya kualitas moral para elit penguasa dengan bukti banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penggarongan uang Negara. Belum lagi kesengsaraan yang dialami bangsa Indonesia. Menurunnya pendidikan, semakin banyaknya jumlah pengangguran, dan jumlah anak tak berdosa dibunuh secara menyelinap.
Jika kondisi bangsa seperti ini, apa pantas dikatakan merdeka? Tentu menjadi polemik. Secara de jure (hukum), Indonesia sudah merdeka, namun secara de facto (fakta) bangsa ini belum sepenuhnya merdeka, karena belum bebas dari kemiskinan.
Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati HUT RI ke – 70, Gerakan Puisi Indonesia Merdeka mengajak para penyair maupun masyarakat di seluruh Indonesia untuk berpartisipasi dalam penerbitan antologi puisi SUARA MERDEKA 70 ini.
Sumber Gagasan:
- Wikipedia Indonesia
- Islam Cendekia (www.islamcendekia.com)
#TEKNIS
1.Penerbitan Antologi Puisi Indonesia Merdeka; “SUARA MERDEKA 70” bersifat independen, nirlaba, serta berdasar kemandirian individu yang menjunjung tinggi kebersamaan. (Biaya penerbitan buku antologi ini ditanggung bersama-sama)
2.Tujuan penerbitan ini untuk merangkum dan mengakomodir puisi karya para penyair dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang, strata, etnis, usia, dan gaya penulisan.
3.Puisi merupakan karya asli, bertema “Suara Merdeka 70” yang merupakan representasi atau tafsir dari HUT RI ke- 70.
4.Penulis dipersilakan mengirim puisi maksimal 2 judul, disertai biodata, foto diri, alamat detil, email, facebook, dan nomor HP ke email: pindomerdeka@gmail.com
5.Biaya cetak/penerbitan akan didukung bersama-sama oleh para penyair yang karyanya lolos seleksi dan dimuat dalam antologi.
6.Selain mengirim karya, pada tahap selanjutnya (usai seleksi) penyair yang karyanya lolos dimohon mengirim iuran ongkos cetak/penerbitan minimal Rp 80.000,- Iuran tersebut akan digunakan untuk biaya penerbitan (proses cetak buku), meliputi: pembuatan cover, layout halaman isi, pengurusan ISBN, dan biaya kirim buku ke alamat masing-masing penulis.
7.Masing-masing penulis akan mendapat 1 (satu) buku antologi sebagai tanda bukti terbit.
8.Seluruh proses mulai dari pengumpulan naskah, seleksi, administrasi, dan tahapan penerbitan akan diinformasikan secara transparan lewat Grup Facebook PUISI INDONESIA MERDEKA. (https://web.facebook.com/groups/972965212756352/)
9.Kesediaan berpartisipasi dan mengirim puisi ditunggu hingga tanggal 31 Juli 2015, akan ditutup sewaktu-waktu apabila puisi yang terkumpul sudah mencapai batas jumlah halaman penerbitan.
10.Pertanyaan terkait dapat ditanyakan ke email: pindomerdeka@gmail.com atau grup facebook: PUISI INDONESIA MERDEKA
11.Peserta yang berpartisipasi diwajibkan menyebarluaskan info penerbitan antologi ini minimal ke 20 teman di facebook ataupun di website dan blog pribadi.
#REWARD
- Terbaik I : Uang Tunai Rp. 1.000.000,- + Kaos Suara Merdeka 70 +1 Buku Terbit Suara Merdeka 70 + Piagam Penghargaan + Voucher Penerbitan Paket Super Lengkap Rp. 150.000,- di Vio Publisher
- Terbaik II : Uang Tunai Rp. 700.000,- + Kaos Suara Merdeka 70 + 1 Buku Terbit Suara Merdeka 70 +Piagam Penghargaan + Voucher Penerbitan Paket Super Lengkap Rp. 150.000,- di Vio Publisher
- Terbaik III : Uang Tunai Rp. 500.000,- + Kaos Suara Merdeka 70 + 1 Buku Terbit Suara Merdeka 70 +Piagam Penghargaan + Voucher Penerbitan Paket Super Lengkap Rp. 150.000,- di Vio Publisher
#NB: Seluruh peserta yang lolos mendapatkan e - Piagam Penghargaan dan 1 Buku Terbit Suara Merdeka 70 yang akan dikiriim ke alamat masing-masing. Apabila ingin mendapatkan buku dengan jumlah lebih, maka penulis dapat membelinya pada penerbit dan mendapatkan rabat sebesar 10 % dari harga buku.
Puisi Indonesia Merdeka,
Suara Merdeka 70
Tembusan Penggagas:
- Sindi Violinda (https://web.facebook.com/sindiviolinda)
selengkapnya di: http://infolombanulis.blogspot.com/2015/06/proyek-penerbitan-antologi-puisi.html#ixzz3eje4HKCa
Follow us: @infolombanulis on Twitter | Infolombanulis on Facebook
Selasa, 02 Juni 2015
Dari Ibu
Dari
Ibu
By : Indah Fatawiyah
Menakuti
teriakan kaku
Saat
sepanjang sejarah mengaku
Bahwa
sebagian dari kuasa Tuhan ada di tanahku
Dari
Ibu
Darah
yang di buang, terbakar, terkapar
Di
sengaja tersebarkan dalam ayunan sejarah seorang pahlawan
Yang
juga dari Ibu, yang kabarnya pembawa surga
Hari
ini, lahirlah sang biadab-biadab yang terbiadabkan
Menakut-nakuti
kelahiran penduduk sang Ibu lagi
Takut
akan korupsi, prostitusi, berlagak di penjuru istana sentris menuju neraka
Lagi-lagi
dari Ibu
Membiarkan
keadaan memerdekakan
Terbuang
tanpa berkabar
Ibu
yang melahirkanku menangis
Seolah
70 tahun yang lalu tiada guna
Padahal
Ibu telah menangiskan darah anak-anaknya
Dan
sekarang, menangiskan kembali hidup anak-anaknya
Yang
mereka sedang tertawa
Sedang
Ibuku pertiwi menangis sedih
Karena
tak pernah di hargai
Malin
kundang tidak hanya yang telah menghujat Ibunya
Juga
bagi mereka yang telah melupakan tanah air Ibunya
Tuhan Yang Terlihat
Tuhan
Yang Terlihat
By : Indah Fatawiyah
Terimakasih
tuhan,
Karena
kau, aku bangun di saat embun bercucuran
Karena
kau,
Darahku
terus mengalir, dan jantungku terus bergerak
Karena
tercipta dari segumpal darahmu
Kau
Tuhan, yang berbeda dengan Tuhan yang lain
Tuhan
yang hanya menyediakan surga
Tanpa
neraka
Sejauh
apa pun segumpal darahmu berdosa
Kau
hanya bisa mencintainya
Marahmu
bukan tsunami bukan pula gempa bumi
Tapi
lebih menyayat hati kami
Karena
disana, terlukis sejuta kasih tak terkendali
Kami,
sang penyusah
Kau
masih lahirkan juga
Dan
terus mencintainya
Sampai
Tuhan yang disana
Sengaja
meletakkan surga di ujung langkahnya
Di
telapak kaki bunda
Terimakasih
Tuhan
Telah
menciptakan Tuhan yang terlihat di mata anak-anaknya
Jombang,
2 Juni 15
Senin, 25 Mei 2015
Cuman bondo nyontek
Cuman bondo nyontek
Fakta manusia-manusia mungil di Indonesia. Paling suka
hidup mudah, asal bisa mendapatkan apa saja. Nggak hanya dari kalangan para
pemerintah, penghuni kantor-kantor Negara, atau petinggi-petinggi bangsa kita.
Dari makhluk strata rendah seperti siswa saja sudah pandai menjalankan misi
non-sportif dalam setiap tindakannya. Yang kurang menjaga etika, harga diri,
ataupun martabatnya. Mengerjakan hal dengan menghalakan semua cara untuk meraih
tujuan mereka. Hanya karena korupsi yang tidak hanya terjadi di gedung-gedung
negara yang tinggi, namun mewabah di penjuru lembaga, akhirnya memunculkan
sumber daya manusia yang tak berkualitas jebolan Indonesia.
Tahu tidak dengan warga negara Indonesia yang
pekerjaannya punya misi dan visi jelas, namun ternyata kelakuan mereka dalam
pekerjaan tidak pernah jelas ? banyak ‘kan ?. Ironisnya, tanah air kita
ini memiliki ribuan maling yang lebih pandai dan disiplin dari pada jutaan
polisi. Misalnya, yang kerap terjadi di kawasan jalan raya. Polisi di Indonesia
saja bisa melakukan hal yang tidak sportif, apa lagi malingnya yang dari awal
sudah berniat menjadi ‘maling’. Tidak jarang, bahkan sangat mudah kita temukan,
orang yang tidak memakai helm, tidak membawa SIM, justru selamat setelah dicegat
oleh petugas kepolisian lalu lintas. Lho, kok bisa ? ya bisa saja, bagi
orang-orang yang sudah mengalaminya dan melakukannya.
Kali ini, dalam pendidikan. Coba tengok lebih dalam,
betapa seriusnya para pelajar atau peserta ujian ketika mengerjakan soal-soal
mereka. Namun, di kolong meja, di bawah alas lembaran kerja, terdapat banyak
pedoman rahasia yang mereka buat sendiri. Belum lagi di sepatu mereka, di dalam
saku mereka, seragam, bahkan di paha bagi siswi yang memakai rok. Mestinya hal
seperti ini di anggap sebagai pelanggaran, bahkan kejahatan. Sadar nggak kalau
korupsi dan tindakan non-sportif juga terjadi di sekolah-sekolah ?.
Seperti yang kerap terjadi di kalangan para pelajar atau
mahasiswa bahkan para pekerja pun, menganggap menyontek adalah hal-hal yang
sudah lazim dan tidak tabu. Di setiap kesempatan, seperti ulangan, ujian tulis,
ujian akhir, selalu saja ada anak yang bermain curang. Mungkin, karena di
lembaran soal ujian jarang sekali ada peraturan yang tidak memperbolehkan siswa
menyontek dan bertanya kepada teman mereka. Kebanyakan, dalam lembaran soal
ujian, hanya terdapat peraturan untuk tidak merusak lembar jawaban kerja, tata
cara mengisi lembar jawaban kerja, dan tidak diizinkannya peserta ujian untuk
membawa kalkulator, Hp, dan lain-lain.
Banyak sekali ditemukan anak yang nilainya baik dalam
ujian, walaupun tidak terlihat rajin dengan belajarnya, namun nilai ulangan dan
ujiannya bisa di bilang tinggi, itu karena mereka cuman bondo nyontek. Kejadian
contek-menyontek tidak hanya akan merugikan pihak yang melakukannya, Namun juga
semua orang yang terlibat. Orang tua, guru, bahkan negara dan masyarakat.
Mereka tidak hanya tertipu dengan nilai baik atau prestasi palsu dari pelajar
itu sendiri. Disebabkan semua itu pula kemungkinan banyak pendidikan di bangsa
kita ini akan mengeluarkan dokter-dokter yang sering mengalami mal praktek,
petugas polisi yang mata duitan, petinggi-petinggi negara yang terlibat korup,
suap, dan semacamnya. Bahkan tak jauh-jauh, berapa banyak sarjana yang menjadi pengangguran yang di
anggap kurang mumpuni di bidangnya, dan masih banyak lagi pastinya.
Semua itu karena para manusia penimba ilmu tidak
sungguh-sungguh untuk mencari ilmu. Akhirnya, seluk beluk dunia pendidikan
penuh dengan ketidak professionalan. Beberapa kali terjadi dan muncul di
berbagai media dan pemberitaan adanya kecurangan dalam ujian nasional yang
diselenggarakan negara. Acara contek bareng, bocoran soal, bahkan tak jarang
terdapat wali kelas atau guru yang membantu muridnya melakukan tindakan curang
dan membiarkan murid-muridnya menyontek dalam kelas.
Pernah terjadi kejadian
suatu waktu sebelum ujian berlangsung, guru dan wali kelas
mengumpulkan anak didiknya yang di anggap lebih aktif dan mampu atau siswa
terbaik di sekolah, kemudian mereka di beri pengarahan untuk membantu
kawan-kawannya dalam menjawab soal selama ujian berlangsung, terutama kepada
teman-teman mereka yang kesulitan menjawab soal. Tak heran jika dalam ujian
guru, seperti ujian sertifikasi, ujian guru teladan, bahkan tes kepala sekolah,
contek-menyontek juga dilakukan oleh beberapa guru. Kegiatan ini tentu akan
merugikan banyak pihak, tak hanya nama pendidikan dalam negara yang tercoreng,
sering kali isu nasional menguak tentang penipuan yang terselip dalam setiap
kelas sewaktu ujian, sehingga terlihat betapa negara ini sesak oleh-oleh
manusia-manusia penipu. Betapa manusia di negeri ini jiwanya telah penuh dengan
jiwa korupsi.
Sering kita dengar pula realita di sekitar kita. hampir
tidak pernah kita temukan orang yang pandai dan jujur akan menjadi masyhur,
dalam masyarakat sekitar kita justru akan tersungkur. Bayangkan, siswa yang
rajin belajar sering kali terisolasi di sekolah lantaran ia enggan memberi
contekan kepada teman-teman yang kurang pandai atau yang tidak tekun belajar.
Ini menandakan betapa runtuhnya jati diri pendidikan di negara kita. bahkan
kita tidak sadar bahwa ternyata sampai saat ini semakin hilang kemuliaan diri
kita sebagai pelajar dan pencari ilmu. Lewat itu semua, masyarakat Indonesia
telah mengubur nilai-nilai moral bangsa.
“Nilai”. Silahkan bertanya kepada semua pelajar
Indonesia, bukan anak Indonesia kalau dia tidak menjawab satu kata tersebut
ketika ditanya, “untuk apa belajar saat ujian ?”. Bukan hal aneh, di negara
kita saja telah di ajarkan bahwa ukuran kesuksesan adalah nilai dan kelulusan.
Bayangkan, sekolah yang asalnya adalah tempat yang di cap sebagai surga para
penimba ilmu, justru di huni oleh manusia-manusia yang menyalah gunakannya
sebagai tempat untuk mencari nilai, dan kebanyakan dari mereka mengatakan,
“yang penting lulus !!”.
Akibatnya, anak-anak yang awalnya semangat belajar,
menjadi keranjingan menyontek karena beberapa faktor tersebut. Takut dihindari
teman-teman, permintaan guru, takut nilai teman-temannya yang bekerja sama
dalam contek-mencontek lebih tinggi dibanding dirinya yang mengandalkan
otaknya, karena dari awal dia juga mencari nilai, takut tidak naik kelas, takut
tidak lulus, bahkan ada yang karena sogokan dari teman-temannya untuk membantu
mereka mengerjakan soal saat ujian. Sehingga kemungkinan 90 % dari 100 anak
cuman bondo nyontek.
Sungguh tak terduga, pelajar di sekolah kita tengah
terserang penyakit mental. Di negara adidaya Amerika, salah satu penyebab anak
terusir dari sekolah adalah mencontek. Jujur dan bertanggung jawab adalah hal
yang sangat dihargai di sana. Lantas bagaimana dengan negara kita ? padahal
negara kita terkenal sebagai negara yang bermoral, namun rupanya cara-cara yang
tidak etis mengendap-endap dalam dunia pendidikan kita.
“ujian untuk
belajar” adalah motto yang patut dijadikan pegangan. Sayang, di kalangan
pelajar membalikkan teori bijak tersebut dalam prakteknya dengan “belajar untuk
ujian”. Sehingga pelajar yang rajin belajar jumlahnya bisa di hitung ketimbang
murid yang hanya belajar menjelang ujian. Peserta ujian yang jujur terlihat
hanya segelintir orang di antara ribuan pelajar yang saling contek-menyontek.
Karena dari awal mereka bertujuan untuk mencari kepentingan pribadi dan ambisi
kepada tujuan mereka, yaitu nilai dan kelulusan.
Dan berbagai persoalan pun bermunculan, “mengapa di
adakan ujian ?”. ujian adalah salah satu cara untuk mengukur sampai seberapa
tinggi tingkat pemahaman kita dalam menyerap ilmu. Tujuan itupun sampai
sekarang tetap tidak menjadi pijakan, namun menjadi ambisi yang menyengsarakan.
Berkenaan dengan sumber daya manusia di Indonesia yang
tergolong di nilai kurang berkualitas di bandingkan sumber daya yang lain.
Sebenarnya tidak juga tidak berkualitas, buktinya banyak ilmuwan cerdas
keluaran Indonesia. Mungkin, karena ketidak performanya dan ketidak efektifnya
makhluk-makhluk absolut republik kita ini. bayangkan, ribuan ilmuwan dari
Indonesia terlahir sebagai manusia cerdas yang berkualitas kiprahnya. Lalu,
kenapa pula masih tidak segera terlihat banyak pelajar yang menyontoh para
ilmuwan tersebut ?. justru waktu ulangan berlangsung, mereka berdisiplin untuk menyontek
atau mencari jawaban dari teman, dari kertas-kertas kecil, dan yang lain.
Padahal, karakter yang di tanamkan saat pembelajaran dalam pendidikan adalah
termasuk jujur dan bertanggung jawab. Bukan calon ilmuwan atau generasi cerdas
namanya kalau kerjaannya hanya mengimitasi jawaban teman dan kertas contekan.
Perlu di camkan, hidup ini tidak hanya sekali kita
menghadapi persoalan, tidak hanya sekali kita menghadapi tantangan, tapi
semakin hari dan semakin bertambahnya umur akan semakin banyak dan semakin
berat tantangan yang kita hadapi. Lalu, kalau dari awal sudah belajar untuk
tidak professional dan sportif dalam menghadapi ujian. Bagaimana nantinya
ketika orang-orang tersebut menghadapi persoalan atau ujian selanjutnya ?.
apakah negara ini akan terus melahirkan para pengangguran, guru-guru yang
jadwal kerap kosong, membantu muridnya untuk contek menyontek, dokter-dokter
yang melakukan kejahatan, birokrat dengan mentalitas yang darurat,
politisi-politisi yang tidak berkualitas dan bermental bejat memenuhi
gedung-gedung parlemen di pusat, praktik korupsi-kolusi, sandiwara politik
untuk kepentingan pribadi dan golongan, polisi yang masih menerima sogokan, dan
lain sebagainya ?. kalau dari awal langkah hidup mereka terbiasa untuk berbuat
curang seperti menyontek, sama seperti mereka itulah akhirnya, menjadi
kebiasaan menghalalkan segala cara dalam ambisi tujuan mereka. Perlu di ingat
lagi, karena dari awal mereka mencari nilai dan kelulusan, bukan lagi ilmu atau
pendidikan, jadi seumur hidup mereka
hanya untuk mencari tujuan mereka sendiri lewat jalur apapun, tanpa adanya
sikap yang professional dan sportif.
Kurang adanya motivasi, pengaruh luar, atau ketidak
pedulinya pihak tekait, seperti guru dan orang tua juga menjadi penyebab
semangat belajar para pelajar. Mungkin inilah saatnya kita sebagai manusia Indonesia
harus bisa menjadi generasi yang dapat membangun bangsa. Seorang pelajar harus benar-benar
berniat menimba ilmu untuk menjadi ilmuwan dan generasi cerdas selanjutnya.
Siapa lagi yang akan membangkitkan bangsa dari keterpurukan mental bejat
sekarang kalau bukan generasi muda yang sungguh-sungguh dapat dijadikan harapan
?.
Langganan:
Postingan (Atom)