Cuman bondo nyontek
Fakta manusia-manusia mungil di Indonesia. Paling suka
hidup mudah, asal bisa mendapatkan apa saja. Nggak hanya dari kalangan para
pemerintah, penghuni kantor-kantor Negara, atau petinggi-petinggi bangsa kita.
Dari makhluk strata rendah seperti siswa saja sudah pandai menjalankan misi
non-sportif dalam setiap tindakannya. Yang kurang menjaga etika, harga diri,
ataupun martabatnya. Mengerjakan hal dengan menghalakan semua cara untuk meraih
tujuan mereka. Hanya karena korupsi yang tidak hanya terjadi di gedung-gedung
negara yang tinggi, namun mewabah di penjuru lembaga, akhirnya memunculkan
sumber daya manusia yang tak berkualitas jebolan Indonesia.
Tahu tidak dengan warga negara Indonesia yang
pekerjaannya punya misi dan visi jelas, namun ternyata kelakuan mereka dalam
pekerjaan tidak pernah jelas ? banyak ‘kan ?. Ironisnya, tanah air kita
ini memiliki ribuan maling yang lebih pandai dan disiplin dari pada jutaan
polisi. Misalnya, yang kerap terjadi di kawasan jalan raya. Polisi di Indonesia
saja bisa melakukan hal yang tidak sportif, apa lagi malingnya yang dari awal
sudah berniat menjadi ‘maling’. Tidak jarang, bahkan sangat mudah kita temukan,
orang yang tidak memakai helm, tidak membawa SIM, justru selamat setelah dicegat
oleh petugas kepolisian lalu lintas. Lho, kok bisa ? ya bisa saja, bagi
orang-orang yang sudah mengalaminya dan melakukannya.
Kali ini, dalam pendidikan. Coba tengok lebih dalam,
betapa seriusnya para pelajar atau peserta ujian ketika mengerjakan soal-soal
mereka. Namun, di kolong meja, di bawah alas lembaran kerja, terdapat banyak
pedoman rahasia yang mereka buat sendiri. Belum lagi di sepatu mereka, di dalam
saku mereka, seragam, bahkan di paha bagi siswi yang memakai rok. Mestinya hal
seperti ini di anggap sebagai pelanggaran, bahkan kejahatan. Sadar nggak kalau
korupsi dan tindakan non-sportif juga terjadi di sekolah-sekolah ?.
Seperti yang kerap terjadi di kalangan para pelajar atau
mahasiswa bahkan para pekerja pun, menganggap menyontek adalah hal-hal yang
sudah lazim dan tidak tabu. Di setiap kesempatan, seperti ulangan, ujian tulis,
ujian akhir, selalu saja ada anak yang bermain curang. Mungkin, karena di
lembaran soal ujian jarang sekali ada peraturan yang tidak memperbolehkan siswa
menyontek dan bertanya kepada teman mereka. Kebanyakan, dalam lembaran soal
ujian, hanya terdapat peraturan untuk tidak merusak lembar jawaban kerja, tata
cara mengisi lembar jawaban kerja, dan tidak diizinkannya peserta ujian untuk
membawa kalkulator, Hp, dan lain-lain.
Banyak sekali ditemukan anak yang nilainya baik dalam
ujian, walaupun tidak terlihat rajin dengan belajarnya, namun nilai ulangan dan
ujiannya bisa di bilang tinggi, itu karena mereka cuman bondo nyontek. Kejadian
contek-menyontek tidak hanya akan merugikan pihak yang melakukannya, Namun juga
semua orang yang terlibat. Orang tua, guru, bahkan negara dan masyarakat.
Mereka tidak hanya tertipu dengan nilai baik atau prestasi palsu dari pelajar
itu sendiri. Disebabkan semua itu pula kemungkinan banyak pendidikan di bangsa
kita ini akan mengeluarkan dokter-dokter yang sering mengalami mal praktek,
petugas polisi yang mata duitan, petinggi-petinggi negara yang terlibat korup,
suap, dan semacamnya. Bahkan tak jauh-jauh, berapa banyak sarjana yang menjadi pengangguran yang di
anggap kurang mumpuni di bidangnya, dan masih banyak lagi pastinya.
Semua itu karena para manusia penimba ilmu tidak
sungguh-sungguh untuk mencari ilmu. Akhirnya, seluk beluk dunia pendidikan
penuh dengan ketidak professionalan. Beberapa kali terjadi dan muncul di
berbagai media dan pemberitaan adanya kecurangan dalam ujian nasional yang
diselenggarakan negara. Acara contek bareng, bocoran soal, bahkan tak jarang
terdapat wali kelas atau guru yang membantu muridnya melakukan tindakan curang
dan membiarkan murid-muridnya menyontek dalam kelas.
Pernah terjadi kejadian
suatu waktu sebelum ujian berlangsung, guru dan wali kelas
mengumpulkan anak didiknya yang di anggap lebih aktif dan mampu atau siswa
terbaik di sekolah, kemudian mereka di beri pengarahan untuk membantu
kawan-kawannya dalam menjawab soal selama ujian berlangsung, terutama kepada
teman-teman mereka yang kesulitan menjawab soal. Tak heran jika dalam ujian
guru, seperti ujian sertifikasi, ujian guru teladan, bahkan tes kepala sekolah,
contek-menyontek juga dilakukan oleh beberapa guru. Kegiatan ini tentu akan
merugikan banyak pihak, tak hanya nama pendidikan dalam negara yang tercoreng,
sering kali isu nasional menguak tentang penipuan yang terselip dalam setiap
kelas sewaktu ujian, sehingga terlihat betapa negara ini sesak oleh-oleh
manusia-manusia penipu. Betapa manusia di negeri ini jiwanya telah penuh dengan
jiwa korupsi.
Sering kita dengar pula realita di sekitar kita. hampir
tidak pernah kita temukan orang yang pandai dan jujur akan menjadi masyhur,
dalam masyarakat sekitar kita justru akan tersungkur. Bayangkan, siswa yang
rajin belajar sering kali terisolasi di sekolah lantaran ia enggan memberi
contekan kepada teman-teman yang kurang pandai atau yang tidak tekun belajar.
Ini menandakan betapa runtuhnya jati diri pendidikan di negara kita. bahkan
kita tidak sadar bahwa ternyata sampai saat ini semakin hilang kemuliaan diri
kita sebagai pelajar dan pencari ilmu. Lewat itu semua, masyarakat Indonesia
telah mengubur nilai-nilai moral bangsa.
“Nilai”. Silahkan bertanya kepada semua pelajar
Indonesia, bukan anak Indonesia kalau dia tidak menjawab satu kata tersebut
ketika ditanya, “untuk apa belajar saat ujian ?”. Bukan hal aneh, di negara
kita saja telah di ajarkan bahwa ukuran kesuksesan adalah nilai dan kelulusan.
Bayangkan, sekolah yang asalnya adalah tempat yang di cap sebagai surga para
penimba ilmu, justru di huni oleh manusia-manusia yang menyalah gunakannya
sebagai tempat untuk mencari nilai, dan kebanyakan dari mereka mengatakan,
“yang penting lulus !!”.
Akibatnya, anak-anak yang awalnya semangat belajar,
menjadi keranjingan menyontek karena beberapa faktor tersebut. Takut dihindari
teman-teman, permintaan guru, takut nilai teman-temannya yang bekerja sama
dalam contek-mencontek lebih tinggi dibanding dirinya yang mengandalkan
otaknya, karena dari awal dia juga mencari nilai, takut tidak naik kelas, takut
tidak lulus, bahkan ada yang karena sogokan dari teman-temannya untuk membantu
mereka mengerjakan soal saat ujian. Sehingga kemungkinan 90 % dari 100 anak
cuman bondo nyontek.
Sungguh tak terduga, pelajar di sekolah kita tengah
terserang penyakit mental. Di negara adidaya Amerika, salah satu penyebab anak
terusir dari sekolah adalah mencontek. Jujur dan bertanggung jawab adalah hal
yang sangat dihargai di sana. Lantas bagaimana dengan negara kita ? padahal
negara kita terkenal sebagai negara yang bermoral, namun rupanya cara-cara yang
tidak etis mengendap-endap dalam dunia pendidikan kita.
“ujian untuk
belajar” adalah motto yang patut dijadikan pegangan. Sayang, di kalangan
pelajar membalikkan teori bijak tersebut dalam prakteknya dengan “belajar untuk
ujian”. Sehingga pelajar yang rajin belajar jumlahnya bisa di hitung ketimbang
murid yang hanya belajar menjelang ujian. Peserta ujian yang jujur terlihat
hanya segelintir orang di antara ribuan pelajar yang saling contek-menyontek.
Karena dari awal mereka bertujuan untuk mencari kepentingan pribadi dan ambisi
kepada tujuan mereka, yaitu nilai dan kelulusan.
Dan berbagai persoalan pun bermunculan, “mengapa di
adakan ujian ?”. ujian adalah salah satu cara untuk mengukur sampai seberapa
tinggi tingkat pemahaman kita dalam menyerap ilmu. Tujuan itupun sampai
sekarang tetap tidak menjadi pijakan, namun menjadi ambisi yang menyengsarakan.
Berkenaan dengan sumber daya manusia di Indonesia yang
tergolong di nilai kurang berkualitas di bandingkan sumber daya yang lain.
Sebenarnya tidak juga tidak berkualitas, buktinya banyak ilmuwan cerdas
keluaran Indonesia. Mungkin, karena ketidak performanya dan ketidak efektifnya
makhluk-makhluk absolut republik kita ini. bayangkan, ribuan ilmuwan dari
Indonesia terlahir sebagai manusia cerdas yang berkualitas kiprahnya. Lalu,
kenapa pula masih tidak segera terlihat banyak pelajar yang menyontoh para
ilmuwan tersebut ?. justru waktu ulangan berlangsung, mereka berdisiplin untuk menyontek
atau mencari jawaban dari teman, dari kertas-kertas kecil, dan yang lain.
Padahal, karakter yang di tanamkan saat pembelajaran dalam pendidikan adalah
termasuk jujur dan bertanggung jawab. Bukan calon ilmuwan atau generasi cerdas
namanya kalau kerjaannya hanya mengimitasi jawaban teman dan kertas contekan.
Perlu di camkan, hidup ini tidak hanya sekali kita
menghadapi persoalan, tidak hanya sekali kita menghadapi tantangan, tapi
semakin hari dan semakin bertambahnya umur akan semakin banyak dan semakin
berat tantangan yang kita hadapi. Lalu, kalau dari awal sudah belajar untuk
tidak professional dan sportif dalam menghadapi ujian. Bagaimana nantinya
ketika orang-orang tersebut menghadapi persoalan atau ujian selanjutnya ?.
apakah negara ini akan terus melahirkan para pengangguran, guru-guru yang
jadwal kerap kosong, membantu muridnya untuk contek menyontek, dokter-dokter
yang melakukan kejahatan, birokrat dengan mentalitas yang darurat,
politisi-politisi yang tidak berkualitas dan bermental bejat memenuhi
gedung-gedung parlemen di pusat, praktik korupsi-kolusi, sandiwara politik
untuk kepentingan pribadi dan golongan, polisi yang masih menerima sogokan, dan
lain sebagainya ?. kalau dari awal langkah hidup mereka terbiasa untuk berbuat
curang seperti menyontek, sama seperti mereka itulah akhirnya, menjadi
kebiasaan menghalalkan segala cara dalam ambisi tujuan mereka. Perlu di ingat
lagi, karena dari awal mereka mencari nilai dan kelulusan, bukan lagi ilmu atau
pendidikan, jadi seumur hidup mereka
hanya untuk mencari tujuan mereka sendiri lewat jalur apapun, tanpa adanya
sikap yang professional dan sportif.
Kurang adanya motivasi, pengaruh luar, atau ketidak
pedulinya pihak tekait, seperti guru dan orang tua juga menjadi penyebab
semangat belajar para pelajar. Mungkin inilah saatnya kita sebagai manusia Indonesia
harus bisa menjadi generasi yang dapat membangun bangsa. Seorang pelajar harus benar-benar
berniat menimba ilmu untuk menjadi ilmuwan dan generasi cerdas selanjutnya.
Siapa lagi yang akan membangkitkan bangsa dari keterpurukan mental bejat
sekarang kalau bukan generasi muda yang sungguh-sungguh dapat dijadikan harapan
?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar